Senin, 10 Oktober 2011

kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah di Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara nasional adalah perubahan kurikulum. Sejak tahun 1980 hingga tahun 2000, Indonesia setidaknya tiga kali telah mengalami perubahan kurikulum. Namun, patut diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Lulusan sekolah di Indonesia masih sangat rendah tingkat kompetisi dan relevansinya (Parawansa, 2001; Siskandar, 2003; Suyanto, 2001).
Kenapa kurikulum harus berubah ? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang, ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru perlu dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah. Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak, kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan “keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan – perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga pada akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata sekolah.
Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal memberlakukan KTSP hingga ke depannya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah, seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas untuk memanage kurikulum di sekolah. Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas -tugas yang hanya bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain, mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta mengembangan kurikulum yang lebih inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.
Dengan adanya Tim Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen kurikulum mungkin akan jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah pun akan jauh lebih efektif dan efisien.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka masalah dapat dirumuskan apakah perubahan kurikulum dapat menuntaskan tujuan pendidikan sesuai dengan pencapaian, dan dapatkah perubahan itu menghasilkan pendidikan itu yang berkualitas.

1.3.Tujuan makalah
Tujuan dari makalah untuk mengetahui perubahan dari setiap perubahan kurikulum dan perkembanagnnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Peran Dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan,yakni mempersiapkan  peserta didik agar mereka dapat hidup di masyarakat. Makna dapat hidup di masyarakat itu memiliki arti luas yang bukan saja berhubungan dengan kemampuanpeserta didik untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai dengan norma-norma masyarakat,akan tetapi juga pendidikan harus berisi tentang pemberian pengalaman agar anak dapat mengembangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dengan demikian, dalam system pendidikan kurikulum merupakan komponen yang sangat penting, sebab didalamnya bukan hanya menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga pengalaman belajar harus dimiliki setiap siswa serta bagaimana mengorganisasi pengalaman itu sendiri. Sebagai salah satu komponen dalam system pendidikan, paling tidak kurikulum memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, peran kreatif, serta peran kritis dan evaluatif.
·     Peran konservatif
      Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa, siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika kita kembali ke masyarakat, mereka dapat menjungjung tinggi dan berprilaku sesuai dengan norma-norma tersebut.
·     Peran kreatif
          Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senantiasa bergerak maju secara dinamis.
·     Peran kritis dan evaluatif
          Dengan demikian kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikulum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik.
2.2. Perubahan Kurikulum Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Dilihat Dari Perspektif Teori Pertukaran.
            Dilihat dari teori pertukaran maka dunia ini sebagai sebuah tempat dimana pertukaran itu menjadi penyeimbang dan kebutuhan yang selalu dihadapi oleh kelompok kehidupan manusia (Damsar, 2008). Pelaku utama pertukaran ini pasti berfikir tepat bahwa kemajuan yang akan dihadapi haruslah sesuai dengan perkembangan hidup dalam kurun waktu ke waktu. Berdasar dari teori pertukaran maka manusia akan berhadapan dengan berbagai persoalan yang mana persoalan tersebut sebagai upaya dan acuan yang bisa dijadikan ramalan terhadap apa yang akan terjadi (Rogers, 1995).Terkait dengan tema diatas, perubahan kurikulum dilihat dari perspektif tiori pertukaran dalam Sosiologi maka berbagai upaya dan terobosan telah dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan untuk mencari format terbaik mulai dari perbaikan dan perubahan kurikulum pendidikan itu sendiri, perbaikan sarana, dan berbagai pelatihan guru agar kualitas para lulusan menjadi lebih baik dan bisa mendapatkan pekerjaan sesuai kebutuhan lapangan. Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas para lulusan dan memiliki daya saing yang tinggi adalah meningkatkan mutu perguruan tinggi yang mendidik calon guru karena proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah sangat tergantung kepada guru, disamping kekereatifan siswa itu sendiri yang memperoleh ekstra belajar di luar sekolah (kursus, atau pelatihan yang relevan dengan minat).
          Rendahnya mutu pendidikan Indonesia dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain; dari rata-rata Evaluasi Tahap Akhir (EBTA) era tahun 1980-an, Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) era tahun 1990-an, Ujian Akhir Nasional (UAN) sebelum tahun 2004 dan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2004 sampai kini, untuk semua bidang studi yang di-UAN-kan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Selain itu, hampir setiap tahun pelaksanaan Ujian Nasional terjadi kecurangan dan kebocoran soal sehingga bisa jawaban dapat disuplai ke sekolah-sekolah yang belum kebagian alias kesulitan menjawab, yang lebih anehnya lagi pensuplai jawaban ujian nasional ialah dengan menggunakan jasa tenaga guru pengawas yang bertugas mengawasi jalannya ujian. Tentu dari hasil perjuangan yang salah itu akan memperoleh hasil yang signifikan atas jasa baik joki maupun para pemeran pendidikan.
          Dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan pada tahun-tahun mendatang. Upaya penyempurnaan kurikulum ini merupakan respon atas berbagai kritik dan tanggapan terhadap konsep dan implementasi kurikulum 1984, 1994, dan 2004 yang dianggap memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan, baik dari segi substansi maupun pendekatan dan organisasi kurikulum. Perubahan kurikulum ini juga paralel dengan diterapkannya otonomi pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, serta pendekatan manajemen berbasis sekolah (school-based management) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education). Dengan demikian, hendaknya dipahami lebih jauh kedepan yang tidak hanya sekedar penyesuaian substansi materi dan format kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi pergeseran paradigma (paradigm shift) dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (outcome-based eduation). Memang benar bahwa perubahan kurikulum itu selalu mengundang Gejolak baik ditingkat sekolah maupun pada tingkat orang tua. Dengan berubahnya kurikulum maka para pendidik harus menyesuaikan wawasa/acuan dengan kurikulum baru, harus mempelajari kembali pengemasannya dalam kegiatan instruksional dan selanjutnya diikuti oleh buku-buku paket. Bagi orang tua, perubahan kurikulum sering diidentikan dengan penambahan biaya terutama yang berkaitan dengan buku pelajaran baru karena buku yang lama tak terpakai lagi (Atwi Suparman, 2004). Berdasarkan tiori pertukaran dan perubahan kurikulum serta pelaksanaan Classroom Assessment dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan maka dapat ditinjau dari beberapa asumsi dasar:
·      Asumsi Tiori Pertukaran
-   Pertukaran Kurikulum Rasional, ada Positif dan Negatif.
          Jelas bahwa keinginan manusia selalu berubah kearah yang lebih maju baik tatanan dari segi material maupun mental. Dari segi material manusia butuh kecukupan barang-barang keperluan dalam kehidupan yang intinya sebagai sarana interaksi antar kelompok manusia. Sementara kebutuhan mental ialah kepuasan manusia memiliki kecapakan intelektualitas sehingga mampu meningkatkan dan pengembangan budaya yang canggih. Pengetahuan menjadi sarana untuk mencapai kemajuan budaya. Tentu saja pengetahuan akan menjadi baik apabila kualitas pendidikan itu sendiri meningkat. Jadi, perubahan kurikulum berarti akan memberi solusi yang terbaik terhadap perubahan kualitas pendidikan dalam masyarakat. Keuntungannya ialah apabila perubahan sistematika pendidikan telah benar-benar baik maka secara sosial kemasyarakatan akan membawa manfaat yang baik terhadap generasi selanjutnya paling tidak keterampilan pemeran mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat dalam lingkungannya sendiri (Suryadi, 2004). Dari gambaran diatas, dapat diketahui bahwa kreativitas masyarakat pembelajar mampu mengembangkan potensial dalam diri pribadi masing-masing.
-        Sasaran Pertukaran Kurikulum.
Secara hirarkis, sasaran yang ingin dicapai dalam tiori pertukaran keinginan untuk perubahan yang positif. Dalam proses pembelajaran akan terdapat perubahan berfikir bagi siswa yang mampu memahami pentingnya peranan belajar. Ketercapaiannya yang utama adalah sasaran bagaimana mengedepankan minat untuk mendalami keilmuan yang benar-benar melekat. Pertukaran ini bisa merubah sikap peserta didik kearah yang positif tanpa terhalang oleh inklusi budaya. Tujuan ini mampu menukar model lama hanya sedikit merubah tatanan kebudayaan manusia sehingga membutuhkan kondisi lain yang lebih produktif (Syukri Muhammad, 2002). Sasaran lain yang perlu dicapai dalam perubahan dan pertukaran kurikulum ini adalah adanya perubahan pola pengajaran dari teaching centre menjadi learning centre (John Dewey, 1964) sehingga memberi tanda bahwa dalam proses belajar mengajar sangat baik kalau siswa lebih banyak bekerja dan secara langsung mengalami proses pengalaman pembelajaran.
-      Transaksi Pertukaran Kurikulum.
            Didalam setiap lini, pertukaran kurikulum pendidikan yang terlebih dahulu menerima input dari floor sehingga memudahkan penganalisaan dan memikirkan terhadap keperluan yang dirubah. Adapun transaksi pertukaran yang berlaku dalam kurikulum dilihat dari keilmuan sosiologi adalah perlu adanya keterlibatan kelompok masyarakat yang secara bersama-sama untuk turut serta berperan demi kepentingan dan peningkatan pendidikan (Rogers, 1995). Transaksi lain yang dipentingkan seperti; adanya kelemahan konpetensi sebelumnya yang berakibat lemahnya hasil belajar siswa, perlunya analisis masyarakat dalam hal PBM yang dilakukan guru dengan mengajukan pertanyaan apakah pemberian materi ajar sudah cukup bagus atau belum, bagaimana model pembelajaran yang ditawarkan kurikulum baru kedepan, apakah tidak terlalu sulit atau terlalu mudah untuk diterapkan, dan bagaimana tingkat penguasaan strategi guru dalam mengaplikasikannya dan perlu juga difikirkan tentang kesehjatraan guru.
·   Pandangan Tioritisi Pertukaran
               Dari pandangan tioritis bahwa pertukaran kurikulum adalah wajar-wajar saja karena setiap pertukaran dipastikan berpengaruh terhadap suasana yang cerah, bisa saja berpeluang kepada perubahan budaya enkapsulasi masyarakat menjadi keterbukaan sehingga menerima pembaharuan yang dinamis.
-        Proposisi Keberhasilan Pertukaran Kurikulum.
Kita lihat, perubahan-demi perubahan yang terjadi kurikulum pendidikan maka semakin baik pula perkembangan pendidikan. Posisi ini merupakan sebuah pola pengembangan yang berhasil. Amerika Serikat telah berhasil melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi secara signifikan, keberhasilan tersebut juga dicontoh oleh banyak Negara termasuk Indonesia (Sujono, 2003) akan tetapi malah sebaliknya Indonesia menggantinya dengan Kurikulum Tingkat satuan Sekolah (Oemar H, 2006). Penulis optimis implementasi KTSP 2006 akan berhasil kalau SDM nya mampu berbuat sebanyak mungkin untuk mendongkrak mutu pendidikan Indonesia.
-        Proposisi Stimulus Pertukaran Kurikulum
Merujuk kepada gambaran Homans dimana stimulus masa lalu sering muncul sebagai patokan untuk melakukan sesuatu dalam pertukaran. Hal ini benar adanya bahwa dalam proses penukaran kurikulum pendidikan Indonesia sering melirik kopi paste dari Negara-negara yang telah melakukan CBSA, KBK dan KTSP padahal secara hidden curriculum Indonesia telah melakukannya di sekolah-sekolah baik non-formal dan informal (Junaidi, 2007). Contoh, seorang santri tidak boleh pindah ke bab yang lain kalau bab sebelumnya belum dituntaskan dengan mantap baik secara proses pembelajaran maupun aplikasi terhadap tingkah laku sehari-hari dalam kehidupan kelompok Masyarakat. Dengan kata lain, faktor yang menentukan keberhasilan dalam dunia pendidikan yang dilihat dari proses kegiatan masyarakat adalah keberhasilan yang telah dilakukan oleh pendahulunya dan cendrung dicontoh serta diperbaharui dengan penambahan berbagai suplemen sehingga berdampak kepada output yang memiliki life-skill.
-        Proposisi Nilai Pertukaran Kurikulum
Dari segi nilai, perubahan dan pergantian kurun waktu tidak terlepas dari untung rugi baik dari segi material maupun fikiran. Akan tetapi prinsip dasar yang sangat perlu diharapkan adalah perubahan sistem pembelajaran dari pola lama yang pasif hanya membidik siswa bersikap menerimo atau nggeh ndoro sementara model PBM baru mampu menciptakan suasana pembelajar menjadi aktif, kreatif, efektif dan mampu melakukan pengalaman belajarnya secara mandiri (Kogan dan Spencer, 2001). Jadi, pilihan hanya ada satu yaitu pengembangan yang maju dan berkualitas dalam pendidikan yang berbasis kepada keberagaman masyarakat dan kebudayaan.
-         Proposisi Deprivasi-satiasi Pertukaran Kurikulum.
Proses tiori pertukaran yang disinggung oleh Homans adalah menyangkut tentang usaha untuk remideal terhadap implementasi kurikulum sampai memperoleh hasil yang baik dengan tidak mengabaikan variable lain seperti fenomena yang ada dalam masyarakat. Anggapan yang baik dan dilakukan dengan usaha maksimal untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dan tidak meninggalkan variable lain seperti fenomena yang ada dalam kelompok Masyarakat maka dampaknya akan menjadi baik pula. Oleh karena pertukaran tiori yang dilaksanakan dalam perubahan kurikulum adalah merunut pada pengalaman yang ada sebelumnya sehingga menjadi acuan dan bahan analisis kedepan.
-        Proposisi Agresi-persetujuan Pertukaran Kurikulum
Mengamati pengalaman masa lalu dalam bidang pendidikan yang dianggap belum berhasil secara konprehensif maka perlu diadakan penukaran sub-sub sistem yang relevansinya kepada PBM di lapangan. Dilihat dari prospek tiori pertukaran dalam sosiologi tentu hal yang wajar harus berterima dan merubah pola lama menjadi pola baru untuk mempersiapkan regenerasi yang handal dan selalu optimis bukan sebaliknya. Kegagalan kurikulum lama bukan berarti cacat total dalam PBM melainkan sebagai pembanding untuk meraih yang lebih progresif (John Dewey, 1964). Sosiologi tampil untuk memfasilitasi keberadaan inklusif masyarakat (ketertutupan) sebagai pemeran pertukaran pola-pola pendidikan – bisa merubah image atau kebiasaan yang kurang sempurna dalam implementasi pendidikan pola konvensional kepada tingkatan individual yang mengedepankan skill dan keluwesen berfikir.
-    Proposisi Rasionalitas Pertukaran Kurikulum
Untuk mengkaji lebih dalam tentang tiori pertukaran dalam sosiologi yang terkait dengan perubahan kurikulum pendidikan Indonesia saat ini. Ada hal yang penting untuk dianalisis, seperti; kelemahan dan kekuatan sistem pendidikan tradisional, faktor rungi-untungnya dan kendala apa yang terjadi dalam masyarakat pra pendidikan bagi para tamatan. Sejauh mana pula skill yang dimiliki tamatan, dll. Semua itu dapat dijadikan sebagai proses kajian pembelajaran untuk konsep yang baru.

2.3. Macam-Macam Kurikulum Di Indonesia

Deskripsi singkat tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan bijaksana.
  • Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1. Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana (pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik. Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
  • Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
·     Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
  • Kurikulum 1975
`     Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
·  Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta sekarang Universitas Negeri Jakarta  periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
·     Kurikulum 1994 Dan Suplemen Kurikulum 1999
            Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.


·     Kurikulum 2004
          Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih Berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
·     KTSP 2006
          Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
2.4.Pengembangan dan Penyempurnaan Kurikulum
            Caswell mengartikan pengembangan kurikulum sebagai alat untuk membantu guru dalam melakukan tugas mengajarkan bahan, menarik minat murid dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Oemar Hamalik Pengembangan kurikulum adalah suatu proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Dari pendapat tersebut di atas dapat di katakan bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang terencana untuk menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan di dasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan situasi belajar-mengajar yang lebih efektif.

·     Penyempurnaan Kurikulum
          Penyempurnaan kurikulum adalah usaha menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya di samping juga untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa. Penyempurnaan Kurikulum adalah upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa. Dimana penyempurnaan kurikulum mempunyai beberapa prinsip-prinsip yaitu:
a.   Menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
b.   Dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
c.   Untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
d.   Mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
e.   Tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
·      Perbedaan Tentang Pengembangan dan Penyempurnaan kurikulum
      Pada intinya keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu upaya untuk menjadikan kurikulum sebagai alat untuk menghasilkan sebuah output berupa pendidikan yang lebih baik yang bisa menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan tuntutan zamannya. Namun dalam prakteknya selain persamaan di atas sesuai dengan hal-hal yang mendasarinya dalam konsep tersebut di temukan beberapa perbedaan yang menjadi ciri dari konsep itu sendiri.
Dan di bawah ini ada beberapa perbedaan antara pengembangan kurikulum dan penyempurnaan kurikulum:
1.Pengembangan Kurikulum
      Pada perkembangan Kurikulum yang telah di jelaskan di atas dapat di lihat bahwa perkembangan Kurikulum sebagai;
-   Suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik.
-   Di dasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku.
-   Bertujuan dapat memberikan kondisi belajar-mengajar yang lebih baik.
            Tiga poin tersebut menunjukkan adanya perbedaan arti dengan Konsep-konsep sebelumnya sesuai dengan tujuan dan hal-hal yang mendasari, sekaligus menunjukkan adanya kemajuan dalam melangkah. Sebab menurut kami pada konsep ini merupakan sebagai upaya melanjutan langkah-langkah yang telah di tempuh pada konsep-konsep sebelumnya.
2.   Penyempurnaan Kurikulum
      Dalam langkah penyempurnaan telah di tegaskan beberapa poin penting yang mana hal itu merupakan wujud dinamika kurikulum dalam rangka memenuhi tuntutan dunia pendidikan yang terus maju, seiring perkembangan ilmu Pengetahuan dan teknologi yang semakian maju pesat. Dalam konsep Penyempurnaan di tegaskan adanya:
-        Upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
-        Untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.
-        Dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
      Dari sini nampak jelas terjadinya kelengkapan dari upaya untuk menjadikan Kurikulum dapat memenuhi tuntutan masyarakat sesuai dengan perkembangan Zamannya. Kurikulum itu tidak hanya sekedar di kembangkan tanpa adanya tindakan penyempurnaan, melainkan setiap kekurangan yang di temukan dalam pengembangan kurikulum harus segera di sempurnakan agar dunia pendidikan dapat mengikuti perubahan zaman serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Blaney, Pengembangan Kurikulum merupakan suatu proses yang sangat komplek karena mencakup pembicaraan penyusunan kurikulum, penilaian yang intensif, dan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap komponen kurikulum.
2.5.Penetapan KTSP Sebagai Kurikulum
            KTSP  adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP.
      Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat:
-   kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar.
-   kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan, dan  kalender pendidikan.
            SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.

Seperti penilaian banyak kalangan, dengan seringnya pemerintah melakukan perubahan terhadap kurikulum yang ada, pemerintah tidak memiliki visi yang jelas tentang pendidikan. Dan sungguh sangat disayangkan, pemberlakuan Kurikulum Baru 2006 ini yang terkesan bongkar-pasang kurikulum dan mengganti KBK 2004 yang dianggap kurang berhasil. Ini didasari kenyataan bahwa masalah kelemahan penerapan KBK 2004 tidak dicari dan tidak dibenahi, tetapi langsung menerapkan Kurikulum Baru 2006. padahal secara substansialnya, KTSP yang telah disahkan sebagai kurikulum baru Pendidikan Nasional tidak jauh berbeda dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, baik isi kurikulum maupun standar kelulusan.

Kurang tercapainya secara optimal penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 di Indonesia, menunjukkan kurang seriusnya pemerintah dalam menyikapi permasalahan pendidikan di negeri ini. Hal ini terbukti dari kurang optimalnya dalam melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang oprasional KBK 2004. Sehingga banyak guru dan steak holder pendidikan menjadi bingung untuk mengimplementasikan KBK 2004 tersebut.
            Mungkin benar sebuah ungkapan yang mengatakan, bahwa Indonesia dalam menjalankan proses pendidikan menggunakan “Manajemen linglung”. Inilah yang disebut KBK adalah Kurikulum Berbasis Kebingungan. Bagaimana tidak membingungkan, KBK yang belum lama terealisasi secara optimal dan belum dievaluasi sejauh mana KBK tersebut berhasil, pemerintah akan merubah kurikulum 2004 menjadi kurikulum 2006. sebenarnya akan dibawa kemana kurikulum pendidikan Indonesia ini .etapi apabila kurikulum baru 2006 nanti memang benar-benar disahkan, diharapkan agar dalam penerapan Kurikulum Baru 2006 nanti pemerintah lebih serius dapat mensosialisasikan isi dan penerapan Kurikulum baru sehingga guru tidak lagi kebingungan untuk dapat dengan baik menerapkan Kurikulum baru tersebut. Mungkin kita semua mengetahui, bahwa selama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 diberlakukan mulai 2001, masih banyak guru yang masih belum memahami secara sempurna Kurikulum tersebut. Banyak guru yang merasa masih belum mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya KBK itu sendiri. Sehingga untuk menerapkan KBK di sekolah banyak menghadapi kesulitan.
      Rendahnya pemahaman guru terhadap KBK merupakan persoalan lebih besar yang perlu diatasi secepatnya. Guru kurang paham KBK 2004 karena sosialisasinya yang tidak lancar, tidak merata dan tidak mendalam sehingga banyak guru yang masih bingung inti dari KBK dan bagaimana melaksanakannya. Karena banyak guru belum bisa menjalankan perannya sebagai fasilitator, mereka akhirnya kembali pada metode pembelajaran konvensional yang telah mereka kenal sebelumnya. Guru dan buku teks pelajaran menjadi sumber informasi tunggal sementara murid diharuskan menerima semua informasi yang disampaikan guru.
            Disamping Pemerintah mengeluarkan panduan pembuatan kurikulum baru 2006, pemerintah juga harus memberikan pemahan secara jelas tentang makna dan arti dari Kurikulum itu sendiri. Karena masih banyak guru yang memahami kurikulum itu dalam arti yang sangat sempit, yaitu kumpulan dari beberapa mata pelajaran yang harus diajarkan kepada anak didik di sekolah. Sehingga dengan kondisi pemahaman yang demikian, guru akan menganggap murid sebagai manusia kosong yang siap diisi apa saja yang dikehendaki oleh guru sesuai dengan aturan main Kurikulum itu sendiri. Yang tercipta adalah Teacher oriented bukan student oriented yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar bebas dari tekanan dan keterpaksaan.Terlepas dari kurikulum nantinya, mau berdasarkan standar isi dan kompetensi atau standar lain, baik yang lama maupun yang baru, satu hal yang kiranya harus diperhatikan dalam memutuskan berlakunya suatu Kurikulum Nasional ialah penyiapan profesionalitas guru. Dan hal ini telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan disahkannya UU guru dan dosen pada 06 desember 2005 yang lalu. Dengan UU guru dan dosen tersebut diharapkan kemampuan manajemen guru dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam menyusun Dengan demikian, penetapan kurikulum baru 2006 hanya akan membuang banyak dana tanpa hasil yang sepadan karena guru tidak dapat melaksanakannya. Dana yang dibutuhkan untuk membuat dan mensosialisasikan kurikulum tersebut sangatlah besar. Padahal kondisi pendidikan saat ini sangat membutuhkan dana anggaran yang besar, seperti Negara–Negara lain. Namun sampai saat ini dari 20% anggaran pendidikan yang diambil dari APBN 2006 masih belum sepenuhnya terealisasikan. Pengalaman dengan KBK kiranya dapat menjadi bahan refleksi nasional bagi para pemegang otoritas kebijakan. Meski sudah sekitar empat tahun KBK dicoba diaplikasikan, namun sampai saat ini masih terdapat sejumlah besar guru di daerah yang belum pernah mendengar istilah KBK. Sebagian besar lagi bingung karena tidak tahu persis isi dan bagaimana melaksanakan KBK, sebagian lagi bingung karena mau melaksanakan KBK tetapi fasilitas pendukungnya tidak ada. Selain masih minimnya pemahaman guru terhadap konsep KBK, sebetulnya ada juga persoalan yang lebih mendasar, yakni ketersediaan akan sarana penunjang pembelajaran.

Oleh karena itu, pemerintah jangan mengira guru akan mengetahui kurikulum baru tersebut dengan sendirinya. Ada baiknya, untuk mempercepat sosialisasi dan teks kurikulum yang baru diperbanyak untuk semua guru di Indonesia. Lalu, orang-orang yang sudah ditatar oleh pemerintah dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi. Diharapkan dengan diberlakukannya kurikulum baru 2006 tersebut, proses pembelajaran di setiap sekolah akan memperhatikan potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak didik. Dengan demikian guru bukan hanya mencekoki murid (teacher oriented), akan tetapi menitikberatkan pada pola belajar siswa aktif atau active learning. Guru tidak hanya sekadar cerceramah, komunikasi berjalan dua arah dan sebanyak mungkin dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.





















BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
a.     Simpulan
            Teori pertukaran dalam konteks perubahan kurikulum pendidikan dewasa ini bermula dari adanya input yang labil pada masa lalu sehingga membutuhkan perubahan kearah yang lebih baik sekaligus meningkatkan kualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Jadi, semakin sering renovasi suplemen kurikulum pendidikan dilakukan semakin mendekati kesempurnaan dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, harapan melalui teori pertukaran dengan koridor perspektif sosiologi maka berdampak kepada berubahnya pola tatanan kehidupan masyarakat yang berkualitas pula. Artinya, perubahan yang baik justru akan muncul peningkatan pola fikir positif dari pelaku baik yang mengadakan pertukaran maupun yang menerima.
b.     Saran
      Penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam isi, penyusunan dan sistematika makalah ini, disini penulis mohon saran dan kitik untuk perbaikan atau kesempurnaan makalah tersebut dan meskipun makalah ini jauh dari kesempurnaan semoga kiranya makalah ini dapat dijadikan bahan bacaam atau acuan untuk dipergunakan seperlunya.















DAFTAR PUSTAKA

Sanjaya, wina. 2009. Kurikulum dan pembelajaran. Cetakan 2:Jakarta
Mulyasa, 2009. Kurikulum tingkat satuan pendidikan. Cetakan 7 PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung
     

1 komentar:

  1. Lucky Club Lucky Club Casino Site - Live Casino, Roulette, Craps
    Lucky Club Lucky Club. Live Casino, Roulette, Craps, Craps, Baccarat, Poker, Roulette & more. Welcome Bonus. Rating: 5 · ‎6 reviews luckyclub.live

    BalasHapus